Suara hujan

 


Oleh: Sahru ramadhan


Hening seketika pecah oleh gerombolan hujan, suaranya yang deras, ribut di atas genteng rumah. Aku yakin, ayah dan ibu juga mendengarnya, aku bangun dari tempat tidurku, di luar begitu gelap dan langit berwarna merah. Tiba-tiba suara engsel pintu kamar terdengar olehku, itu ayahku. Dia ingin memeriksa plafon yang bocor di sekitar ruangan rumah. Setelah berdiri lama di depan jendela kamar, aku kembali berbaring ke tempat tidur, menarik selimut lalu menenggelamkan seluruh tubuhku, kedua tanganku erat memeluk bantal, hawa dingin mulai terasa, menyelip masuk lewat kusen jendela, perlahan menyentuh ujung kakiku.

Tetesan air hujan mengetuk di dalam ember plastik, jelas terdengar di depan pintu kamarku. Mungkin ayahku menemukan plafon rumah yang tembus oleh rembesan hujan. Di luar hujan masih saja ribut, sesekali kilat mengeluarkan sinar seperti cahaya blitz kamera. Aku masih berbaring, mata masih belum ingin terpejam, raga masih terjaga, meskipun jarum jam sudah menunjuk pukul dua pagi.

Aku memandang sudut-sudut kamarku, Napasku terdengar sayup, dingin menebar sesak. Ayahku sudah kembali ke kamarnya, mungkin dia ingin melanjutkan tidurnya, sementara aku masih saja termenung, membiarkan dingin menyelimuti seluruh tubuhku. Rasanya mulai mengantuk, mata pun lemas seketika. Di saat ingin terpejam, tiba-tiba suara petir menggelegar, langit bergumuruh. "Astaga," ucapku. Lampu tiba-tiba padam, seluruh ruangan menjadi gelap, mataku tercengang lalu kembali menatap ke jendela, di balik gorden, kaca jendela masih menampakkan langit berwarna merah kelabu.


Tiba-tiba aku mendengar Suara tangisan adikku, ia terbangun ketakutan mendengar suara kilat barusan, membuatku lekas bangkit dari pembaringan, aku membuka pintu kamarku lalu menghampirinya, dia menutup wajah dengan bantal. "Sudah, ada kakak di sini temani kamu," kataku sambil memeluknya. Hujan makin ribut, aku berbaring di samping adikku, memandang gelap di langit-langit rumah. "Kamu tidur lagi, besok kamu harus masuk sekolah."

Kali ini hujan benar-benar turun sangat lama, aku belum juga bisa tertidur, berharap lampu segara kembali menyala. Sepanjang malam ini, aku dibuat gelisah, aku masih di sini, bagaikan menunggu sesuatu yang tak ditahu kepastiannya. Suara hujan terus menghantam genteng rumah, daun-daun diguyur tanpa ampun. Tatapan hampa menguasai Lamunanku.

Adikku sudah kembali tertidur, kedua tangannya masih menggenggam di lenganku. tak lagi merasa takut, tak perlu memikirkan suara bergumuruh di langit, selama aku masih ada di sampingnya, baginya semua terasa aman. Sewaktu kecil, aku pun juga sama seperti dia, ketika badai hujan datang, petir menggelegar, aku akan berlari menghampiri ibuku, lalu tertidur di pelukannya. 

Aku hanya dua bersaudara, kami berdua anak perempuan. Ayahku sangat menginginkan anak laki-laki, dia pun berharap memiliki tiga anak, dan yang terakhir, seperti yang ia inginkan, kehadiran sosok anak laki-laki. Aku tak pernah menanyakan hal itu kepada ayahku, kenapa dia sangat menginginkannya, mungkin menurutnya, anak lelaki kelak bisa menjaga keluarganya, mungkin seperti itu, entah.

Sunyi makin nyata dalam gelapnya malam ini, hanya suara hujan yang gaduh, selebihnya sudah tak ada suara-suara lain. Begitu hampanya kehidupan malam, orang-orang larut dalam mimpi, sedang aku, seakan-akan terdiam dalam kesunyian. kosong tak ada siapa-siapa.

Suara toa mesjid berbunyi, waktu sudah menjelang subuh, aku belum juga tertidur. Andaikan saja lampu tidak padam, petir tak bergemuruh, mungkin adik saya tidak menangis ketakutan, aku pun demikian, mungkin sudah terlelap nyenyak. Sudahlah, tak perlu disesali, mungkin malam ini aku sudah ditugaskan untuk tidak tidur, lagi pula besok aku libur kuliah, tak masalah, jika pagi sudah tiba, aku akan melanjutkan tidurku.

Di sini aku tenggelam dalam khayalanku, sampai-sampai tak terasa, rupanya di luar  hujan sudah redah. Rintihan terdengar samar, menghasilkan genangan-genangan di sekitar halaman rumah. seketika kerang air berbunyi dari kamar mandi dapur, itu ayahku sedang mengambil air wudhu. Lalu ia melangkah, berjalan ke arah kamar adikku, aku mendengarnya dengan jelas, ia membuka setengah pintu kamar, lalu mengintip melihat ke arahku, yang sedang tertidur di samping adikku, pintu lalu ditutup, mungkin dia mengira, aku sedang tertidur nyenyak, padahal tidak.

Suara gerutu ibuku panjang lebar, sambil menepuk bahuku, membangunkanku di tengah hari yang terik, aku pun terbangun, adikku sudah tak ada di sampingku. Kupaksakan bangkit dari tempat tidur, meski kedua mataku masih terasa berayun-ayun pandangan masih kabur, aku berjalan keluar dari kamar, jam sudah pukul delapan lewat, ternyata aku bisa tertidur sedikit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GERAKAN MAHASISWA NUSA TENGGARA TIMUR (GEMA NTT) YPUP Makassar, sukses menggelar AMANAT PENGKADERAN REGENERASI ANGGOTA (AMPERA) Ke-XI.

HIMA PRODI PJKR STKIP YPUP mengadakan ORIENTASI DIDIK JASMANI tahun 2022

Kekasih pemuda organisasi