Hoaks di era post truth
Saat ini kita sedang berada di era di mana informasi begitu ramai, cepat dan padat. Masyarakat kita sangat senang ribut-ribut di media sosial, saling mengujat, menyebar berita-berita yang tak memiliki dasar kebenaran. Permasalahannya saat ini, kita semua kesulitan dalam menyerap informasi yang objektif, itu tak lepas karena krisis berpikir kritis di era digital saat ini, informasi malah leluasa membentuk emosi publik, kehilangan kesadaran. Kita bisa menyebutnya era bernama post truth, di mana kejahatan-kejahatan atau kebohongan mendapatkan kedudukan tertinggih dalam ruang publik, batas antara fiksi dan realitas melebur, seperti kekacauan. Sekali lagi, pola pikir masyarakat yang kuang efektif. Efeknya, informasi-informasi yang tak diketahui asalnya, perlahan menyerang sikap kita.
Fenomena media sosial memang tak terbendung, begitu cepat, linca. kini meluas dan membentuk cara berpikir masyarakat dalam menyikapi persoalan kehidupan sehari-harinya. berita kebohongan kian mudah tersebar, parahnya lagi, masyarakat sangat antusias meresponnya, bahkan percaya. Jika kebohongan bersifat sensasional, memunculkan kejutan-kejutan menarik dalam isi informasinya, maka pontensi untuk percaya sangat mudah terjadi. Jelas, ini terlihat membahayakan, konflik dan adu argumen muncul dalam ruang-ruang publik, saling berebut kebenaran. Perpecahan mulai tumbuh dan dimanfaatkan dalam permainan politik.
Ketika kebohongan begitu eksis, cara berpikir pun dibuat kacau. Akhirnya, berpikir logis sepertinya lenyap. Masyarakat saat ini, bagaikan seperti berada dalam kerumunan yang bertentangan, di mana ada dua kelompok politik yang saling membenarkan, argumentasi acak-acakan. Konyolnya, kebohongan begitu merduh dalam gosip mengosip yang makin ramai, kebohongan yang dikemas menjadi kebenaran.
Penting untuk diketahui, penyebaran Hoaks dalam media sosial yang dapat memancing emosi publik, provokatif, hingga mempengaruhi tindakan. Maka butuh untuk mengontrol diri, kita harus pandai melihat, di mana fakta-fakta objektif mulai dikaburkan, sulit dipersepsi, hingga narasi-narasi kebohongan tumbuh menjadi nilai yang dipercaya.
Inikan menjadi masalah, dalam mengambil posisi di tengah arus informasi yang begitu padat. Kita tak diberi waktu untuk refleksi, lebih analisis. Namun terjebak dalam informasi-informasi yang gaduh, belum ketahui kebenarannya. Beberapa pengamat menganggap, itu ada fenomena sosial yang mengerikan, kita dibuatnya makin berantakan, bahkan saling bermusuhan, perpecahan terus ada di mana-mana.
Berpikir kritis itu sangat penting di era saat ini. Kenapa demikian, setidaknya mampu membuat kita lebih sehat dalam melihat, juga menanggapi persoalan-persoalan, mampu mengontrol diri, lebih teliti dan taktis dalam menyimpulkan. Namun sayangnya, hal ini makin hilang di dalam diri masyarakat kita, budaya membaca pun juga berkurang, apa yang mesti diharapkan, jadi wajar-wajar saja, jika kita sangat lemah dan mudah terprovokatif.
Begitulah, di era saat ini kita tidak di beri waktu untuk menanggapi persoalan dengan cara yang tenang, slow, lebih terbuka, namun dibentuk lebih cepat, emosional dan mudah percaya, cara berpikir tak terkontrol pula, makin ke sana makin amburadul.
Sedikit mengingat ucapan salah satu filsuf asal jerman, yaitu arthur schopenhauer. Di sini saya hanya sedikit menganalogikan, konteks kehidupan manusia saat ini. Dalam ungkap tersebut, schopenhauer berkata, Kehidupan ini layaknya hutan rimba, belukar, mengerikan. Para manusia hidup layaknya hewan buas, saling berburu makanan, saling merebut wilayah. Ketika akses makanan mulai berkurang, sulit terjangkau, maka mereka akan saling menyerang, saling makan memakan.
Jika membayangkan apa yang disampaikan oleh schopenhauer, kita akan sedikit termenung dan memandang kehidupan penuh kosongan yang tanpa makna ini, selain hasrat saling membunuh. Mengerikan, era yang penuh membabi buta. Perdebatan di mana-mana, hingga terbentuknya kelompok-kelompok politik. Idelisme media juga mulai ludar, bahkan ikut dalam kepentingan politik elit.
Di tengah arus pesatnya informasi, manusia bagaikan berada di atas perahu. Terombang-ambing di atas gelombang lautan, terhempas ke sana kemarin, kesulitan mengimbangi diri. Kita terus terbawa, hanyut, dan akhir pasrah mengikuti arus. Jika hidup sudah seperti itu, yah, kita cukup melihatnya saja, tak perlu menyesalinya, merasa bersalah. Karena di lain sisi pun kita perlu menyadarinya, bahwa kita sebagai manusia yang membuat kehidupan seperti ini.
Jadi apa yang menjadi persoalan, salah satunya cara berpikir kita, pemikiran membentuk sikap kita. perlunya bertindak bijak, lebih terbuka, rasa ingin tahu lebih diperluas, dan bersikap yang tenang. Agar bisa melihat hal yang lebih baik, bukan dengan terburu-buru. Juga menjadi persoalan, mengapa berita hoaks itu ada, mengapa kita mudah percaya, beradu argumen, saling membenarkan, lagi-lagi kita sebagai pembaca informasi, harus lebih sehat dalam merespon persoalan itu.
Komentar
Posting Komentar